Minggu, 30 Agustus 2020

SUDAH MEMBUKA LEMBAR KEBERAPA?

 

SUDAH MEMBUKA LEMBAR KEBERAPA?[1]

(Hal-76) Seorang ulama, mengibaratkan waktu kehidupan ini dengan ilustrasi sederhana, tapi sangat menyentuh. Katanya, hidup ini ibarat kita membuka lembar demi lembar sebuah buku. Dan setiap lembar buku yang kita buka, adalah ibarat satu hari yang kita lewati. Semakin banyak lembar buku yang telah kita buka, berarti semakin tipis sisa lembar buku yang kita buka. Hingga akhirnya lembar demi lembar buku itupun habis kita buka. Dan itulah ajal.



Saudaraku,

Dalam setiap lembaran itu, ada catatan dan warnanya sendiri-sendiri. Berapa lemar yang sudah kita buka? Mari periksa kembali, apa isi catatan yang ada di lembar demi lembar yang telah kita buka itu. Ada warna apa di sana? Apakah gambar dan peristiwa yang tertera di sana? Indahkah catatan dan warnanya? Lalu, berpikirlah tentang berapa banyak lagi lembaran yang tersisa bagi kita untuk (Hal-77) kita isi? Jawabannya, pasti tidak ada yang tahu.

Ibnul Jauzi rahimahullah pernah berkisah tentang keadaan manusia di zamannya, “Aku menyaksikan banyak kebiasaan orang-orang yang isinya adalah menyia-nyiakan waktu. Padahal orang-orang shalih dahulu sangat hati-hati dengan waktu.” Fudhail bin Iyadh rahimahullah juga mengisahkan penggalan peristiwa penting yang ada di masyarakatnya ketika itu. Ia mengatakan, “Saya kenal dengan seseorang yang bisa menghitung perkataannya dari satu Jum’at ke Jum’at berikutnya, ....”Masih menurut Fudhail, dahulu ada sekelompok orang yang lebih cenderung untuk diam, tidak mau aktif untuk membuat kebaikan. Kepada mereka Fudhail mengatakan,”sesungguhnya Malaikat yang menjalankan matahari tidak pernah diam menjalankan tugasnya menyinari alam semesta, apakah kalian tetap tidak ingin berdiri dan bergerak?”

Saudaraku,

Rasulullah shallallahu alaihi wasalam pernah memegang pundak Abdullah bin Umar radhiallahu anh, lalu bersabda, ‘Jadilah engkau di didunia seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara. Jika engkau hidup hingga waktu sore, janganlah menunggu pagi dan jika engkau hidup hingga waktu pagi, jangan menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum kamu sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu mati.’(HR. Bukhari)

Orang-orang shalih dahulu, sangat ketat memeriksa waktu-waktu hidupnya. Diantara mereka ada yang bernama Amir bin Abdi Qais rahimahullah, seorang ahli ibadah yang terkenal sangat memelihara waktu. Suatu ketika, seseorang mengatakan kepadanya,”Berhentilah sejenak, saya perlu berbicara padamu ...”Secara cepat ia menjawab,”Jika engkau ingin saya berhenti, hentikanlah matahari memancarkan sinarnya ...” Lain lagi dengan Daud Ath-Tah’i rahimahullah.

Ia makan roti yang telah dibasahkan dengan air dan tidak mau makan roti kering. Saat memakannya ia mengatakan,”Antara makan roti dengan roti basah, ada bacaan 50 ayat.”

Waktu hidup ini memang tak pernah berhenti berdetak, bergerak dan berjalan menuju akhirnya. Dan setiap kita tak pernah tahu di mana titik akhir diamnya. Tak peduli waktu kecil, muda maupun dewasa apalagi tua. Itu sebabnya, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam sebuah ceramahnya yang begitu menggugah mengatakan,”wahai, pemuda-pemuda dua puluhan tahun, berapa banyak teman-teman seusia kalian yang telah meninggal dan mendahului kalian? Wahai pemuda-pemuda tiga puluhan (Hal-78) tahun, kalian berada di rentang akhir usia muda, apa yang telah kalian lakukan selama ini? Wahai, orangtua empat puluhan tahun, telah terlewati masa kecil dan masa muda, dan kalian terlalu lama bermain dan bersenda gurau hingga saat ini. Wahai para orangtua lima puluhan tahun, usia kalian telah menempuh separuh dari seratus tahun, apa yang sudah kalian hasilkan? Wahai para orangtua enam puluhan tahun, terlalu lama kalian ada di ujung harapan yang selama ini  telah memulikanmu, apakah kalian akan tetap bermain dan bersenda gurau, padahal engkau sudah hampir sampai ...”

Saudaraku,

Termasuk kelompok manakah kita? Usia dua puluhan, tiga puluhan, empat puluhan, atau enam puluhan? Atau bahkan lebih dari itu? Fudhail pernah berkata pada seseorang,”Berapa usia yang telah kau lewati?” Orang itu menjawab,”Enam puluh tahun.” Fudhail mengatakan,”Engkau, selama enam puluh tahun, menempuh perjalanan menuju Tuhanmu dan sebentar lagi engkau akan sampai ke tujuan.”

Mungkin, ada diantara kita yang bangga dan bersyukur dengan bertambahnya usia. Seharusnya kita semakin banyak merenung dengan kian berkurangnya usia. Seperti dikatakan Abu Darda dan Al Hasan radhiallahu anhuma, “Dirimu hanyalah gugusan hari demi hari. Setiap berlalu satu hari berarti berkuranglah bagian dari dirimu. Mengapa kita bergembira dengan hari-hari yang telah kita lewati? Padahal setiap hari berlalu, artinya kian mendekatkan kita pada ajal ...”

Saudaraku,

Mari bekerja keras untuk kematian. Ketentuan untung atau rugi, ada pada bagaimana kita beramal dan bekerja saat ini, sekarang. “Bagaimanakah penghuni dunia bisa gembira dengan harinya yang melahap bulannya, dengan bulannya memakan tahunnya, dan tahunnya yang semakin menghancurkan usianya? Bagaimana seseorang bisa gembira bila usianya sebenarnya mengarahkannya pada ajalnya dari dunia, dan merubah kehidupannya pada kematiannya?”

Sungguh indah detik-detik waktu yang dilewati para orang-orang shalih. Mubarak rahimahullah bercerita,”Aku berkunjung kepada Tsabit al Bunani rahimahullah di saat sakit menjelang ajalnya. Ketika itu, ia tetap mengingat teman-temannya. Ketika kami masuk menemuinya, ia berkata:’Wahai saudaraku, kemarin aku tidak bisa shalat seperti biasanya, dan aku tidak bisa puasa seperti biasanya, aku juga tidak bisa mendatangi teman-temanku lalu berzikir kepada Allah bersama mereka seperti biasanya.’ Kemudian ia berkata,’Ya Allah, apabila engkau menghalangi aku dari tiga perkara ini jangan Engkau biarkan aku di dunia sesaatpun.’ Lalu ia meninggal dunia saat itu.”

Saudaraku,

Sudah membuka lembar ke berapa? Berapa banyak catatan di lembar-lembar waktu kita yang tak ada hubungannya dengan dunia apalagi akhirat?

(Bangkinang, Selasa, 21 April 2010, 08:08:09 WIB)

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 222 Th.11, Rabiul Awal 1431 H/ 25 Februari 2010, hal. 76-78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar